Makalah Ahli Waris Pengganti menurut KHI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam permasalahan di dunia ini, ada beberapa permasalahan dan perbedaan pendapat tentang bagaimana membagi warisan kepada ahli waris, dan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, terlebih bagaimana konsep ahli waris pengganti itu sendiri.
Sehingga mengakibatkan salah kaprah, dan salah perhitungan dalam penyerahan harta warisan kepada ahli waris pengganti. Padahal dalam pasal 185 KHI sudah jelas diterangkan bagaimana kedudukan dan bagian untuk ahli waris pengganti itu sendiri dan dalam pasal sebelum-sebelumnya telah diterangkan bagaimana ahli waris mendapatkan bagiannya.
Oleh sebab itu dalam permasalahan kali ini yang menjadi latar belakang masalah adalah bagaimana bahagian untuk ahli waris pengganti itu sendiri, dan bagaimana ahli waris pengganti dapat mendapatkan harta warisan, dan pembagian serta siapa saja ahli waris pengganti itu yang menjadi pokok permasalahan. Sebab permasalah di atas sering kali di salah gunakan oleh masyarakat sehingga menjadikan masyarakat Indonesia main hakim sendiri dalam membagikan harta warisan. Dengan alasan pewaris sudah tidak mempunyai anak keturunan sehingga banyak nenek-nenek yang dulu punya anak, menjadi terlantar di pinggiran kota, dan bertempat tinggal di gunung yang tak berpenghuni. Sehingga seolah mereka tidak memiliki sanak saudara sama sekali, dan tidak ada yang mau mengurusinya.
Dalam KHI dan Hukum Islam telah diterangkan, namun bagaimana implementasi dalam penyelesaian permasalahan ahli waris yang tidak sah, dan bagaimana ahli waris pengganti yang asli dan sah itu; serta kedudukan ahli waris dalam perhitungan warisan, sehingga tetrjadi kejelasan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep ahli waris pengganti itu sesungguhnya?
2.      Bagaimana ahli waris pengganti dalam perspektif KHI?
3.      Dan siapa saja yang dapat menjadi ahli waris pengganti?

  


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ahli Waris Pengganti
Secara istilah ahli waris pengganti dikenal dengan bahasa Arab yaitu Mawali yang artinya ahli waris pengganti. Yang dimaksud ialah ahli waris yang menggantikan seseorang yang memperoleh bagian waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu.
Sebabnya ialah karena orang yang digantikan itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Orang yang digantikan ini hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentuk warisan) dengan pewaris.
Pengertian ahli waris pengganti di dalam hukum waris Islam tidak sama dengan ahli waris pengganti dalam hukum waris adat atau hukum waris barat (B.W.), yang pada pokoknya hanya memandang ahli waris pengganti adalah keturunan dari ahli waris yang digantikan kedudukannya. Pengertian ahli waris pengganti di dalam hukum waris Islam adalah ahli waris yang haknya terbuka sebagai akibat ketiadaan ahli waris tertentu.

B.     Dasar Hukum Ahli Waris Pengganti
1.      Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Indonesia :
Berbagai upaya positif telah dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menuju pembentukan hukum nasional di berbagai bidang, termasuk di antaranya hukum kewarisan. Tetapi, khusus berkenaan dengan reformasi hukum kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia hingga saat ini tampaknya belum memuaskan. Bahkan berbagai pihak, terutama kalangan aparatur penegak hukum di lingkungan Mahkamah Agung dan Departemen Agama RI yang duduk di dalam panitia penyusunan KHI berhasil memaksakan masuknya hasil penalaran Hazairin tersebut ke dalam KHI. KHI yang telah dibungkus dengan wadah Inpres.
Selain itu, dinyatakan pula dalam konsideran Inpres tersebut bahwa KHI merupakan hasil kesepakatan dari seluruh alim ulama dan telah pula dikukuhkan di dalam Yurisprudensi Peradilan Agama dan Mahkamah Agung. Adapun hal paling krusial yang mengatur masalah hukum kewarisan adalah dicantumkannya klausul materi hukum mengenai keberadaan “Ahli waris pengganti” yang dianggap telah melembaga dan diopinikan oleh masyarakat selama sembilan belas tahun ini.
Pada pasal 185 pasal (1) KHI dinyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 ayat (2) yang berbunyi Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
 2.      Berdasarkan Al-Qur’an
Dan dasar hukum selanjutnya ialah terdapt juga dalam firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa. Sebagai berikut :
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqçtø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ  
Artinya : “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya[288]. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa[4]: 33)
Ayat ini menurut Hazairin adalah merupakan rahmat yang sebesar-besarnya bagi ummat manusia, jika tidak ada rahmat tersebut, maka apakah lagi dasar hukum yang dapat disalurkan dari al-Qur’an untuk mendirikan hak kewarisan bagi lain-lain aqrabun yang tidak tersebut dalam ayat-ayat kewarisan dalam al-Qur’an seperti paman dan bibi, kakek dan nenek, cucu dan piut dan seterusnya.

C.    Siapa Saja Ahli Waris Pengganti Itu
Mengacu Kepada pengertian leluhur dan keturunan maka dapat dibedakan ahli waris kedalam dua kelompok, yaitu ahli waris utama pengganti dan ahli waris pengganti. Ahli waris utama pengganti terdiri dari Neneh shachihach, kakek sachihach, cucu perempuan pancar laki-laki, dan cucu laki-laki pancar laki-laki. Sedangkan ahli waris pengganti terdiri dari saudara sekandung / sebapak dan saudara seibu.
1.      Kakek
Kakek (ayahnya ayah), adalah seorang yang ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal dunia. Bila ayah si cucu masih hidup, maka kakek terhijab, sehingga kita tidak berbicara tentang warisan buat kakek.
a.       Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
ü  1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
Dalilnya adalah firman Allah :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
ü  1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
Dalilny adalah sabda Rasulullah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
ü  Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
Dalilnya adalah Firman Allah:
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Artinya: “Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
2.      Nenek
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah. Dalilnya sama seperti kakek. Namun nenek tidak menghijab siapapun.
3.      Cucu Laki-Laki dan cucu perempuan.
Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.
Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang diterima seorang anak laki-laki. Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki. Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu perempuan.
Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris : cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak perempuan tunggal adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian yang didapat oleh cucu laki-laki adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan, maka dia juga mendapat sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di antara para cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya mendapat setengah dari apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan.

Maka pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris
Bagian
Anak Perempuan
1/2
3/6
Cucu Laki-laki
Sisa = 1/2
2/6
Cucu Perempuan
1/6

4.      Ahli Waris Pengganti
Saudara seayah-ibu (أخ شقيق)
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah saudara sekandung, karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara seayah dan seibu.
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.

D.    Ahli Waris Pengganti Perspektif KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
a)    Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
b)   Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya.
Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Hal ini dapat dipahami dari pasal 185 ayat (2) dengan mengungkapkan „tidak boleh melebihi‟. Yang secara tidak langsung telah memberi batasan bagian yang diterima. Walaupun demikian, dalam pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Secara tegas dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama tentang azas ahli waris langsung dan azas ahli waris Pengganti.
1)     Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI.
2)     Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan pada pasal 174 KHI. Diantara ahli waris pengganti yang disebutkan dalam Buku II adalah :
a)      Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya.
b)      Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah dan seibu) mewarisi bagian yang digantikannya.
c)      Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
d)     Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama.
e)      Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ayah.
f)       Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu. Selain yang tersebut di atas tidak termasuk ahli waris pengganti.
Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan (equal rightand equal status) maka ketentuan pasal 185 KHI. yang menegaskan: “Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”, kalimat „anaknya‟ tersebut dapat dipahami bahwa baik keturunan dari anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah meninggal lebih dahulu dari orang tuanya mempunyai kedudukan yang sama. Dari rumusan bunyi pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti timbul beberapa permasalahan yang mengundang silang pendapat, antara lain mengenai:
a.       Apakah penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
b.      Apakah jangkaun garis hukum penggantian ahli waris hanya berlaku untuk ahli waris garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
c.       Apakah ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara relatif.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatasditerangkan bahwa ahli waris terbagi menjadi dua macam:
1.      Ahli waris utama pengganti dan
2.      Ahli waris pengganti.
Syarat utama seorang ahli waris pengganti supaya dapat mnedapatkan warisan adalah, dengan menggantikan ahli waris sebelumnya yang telah meninggal. Dan meninggalnya ahli waris adalah hal pokok dalam pembagian harta ahli waris pengganti.
Memang terjadi kontrofenrsi antara Hukum adat dan hukum Islam. Oleh sebab Al-Qur’an yang seharusnya dijadikan Undang-undang kehidupan, ternyata dikesampingkan. Sehingga lahirlah KHI dengan gabungan BW, Huk.adat, dan Huk. Islam. Oleh sebab itu terkadang, keputusan KHI kurang pas dengan AL-Qur’an. Oleh sebab pengatuh hukum barat.
Namun Umat muslim tetaplah Umat muslim, jadikan Al-Qur’an dan Assunnah sebagai pokok pemecahan masalah.


DAFTAR PUSTAKA
Ash Shabuni, Muhamamd Ali, 1995, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: gema Insani.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, 1999, Fiqih Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Kencana.
Rasji Sulaiman, 2012, Fiqih Islam, Cet. 57, Bandung Sinar Baru Algensindo.
Salman Otje, (Prof.Dr), 2002, Hukum Waris Islam, Bandung: Refika Aditama.
Sarwat Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta : DU Center.
Syarifuddin Amir, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 1, Jakarta: Kencana.
Thalib Sajuti, 2004, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafka.
Previous
Next Post »
1 Komentar