BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Resiko di masa datang
dapat terjadi terhadap kehidupan sesorang misalnya kematian, sakit atau resiko
dipecat dari pekerjaannya. Dalam dunia bisnis resiko yang dihadapi dapat berupa
resiko kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan atau resiko
lainnya. Oleh karena itu setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi
sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
Untuk mengurasngi
resiko yang tidak diinginkan dimasa yang akan datnag, seperti resiko
kehilangan, resiko kebakaran, resiko macetnya pinjaman kredit bank atau resiko
laiinnya, maka diprlukan perusahaan yang mau menanggung rediko tersebut. Adalah
perusahaan asuransi yang mau menanggung resiko yang bakal dihadapi nasabahnya
baik perorangan maupun badan usaha. Hal ini disebabkan perusahaan asuransi
merupakan perusahaan yang melakukan usaha pertanggung jawaban terhadap resiko
yang akan dihadapi oleh nasabahnya. Oleh karenanya, makalah ini membahas
tentang peransuransian berikut pengaturannya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pengertian dan
terjadinya perjanjian asuransi ?
2. Bagaimanakah polis
sebagai bukti transaksi?
3. Apa sajakah yang
termasuk dalam syarat sah perjanjian asuransi menurut KUHD?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asuransi
Menurut
Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Pasal 1 : “Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.Pada hakekatnya
asuransi adalah suatu perjanjian antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan
perusahaan asuransi (penanggung) mengenai pengalihan resiko dari nasabah kepada
perusahaan asuransi.
Resiko
yang dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian material yang dapat dinilai
dengan uang yang dialami nasabah, sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa
yang mungkin/belum pasti akan terjadi (Uncertainty of Occurrence &
Uncertainty of Loss). Misalnya :
1.
Resiko terbakarnya bangunan dan/atau Harta Benda di dalamnya
sebagai akibat sambaran petir, kelalaian manusia, arus pendek.
2.
Resiko kerusakan mobil karena kecelakaan lalu lintas, kehilangan
karena pencurian.
3.
Meninggal atau cedera akibat kecelakaan, sakit.
4.
Banjir, Angin topan, badai, Gempa bumi, Tsunami
B.
Terjadinya Perjanjian Asuransi
Untuk menyatakan kapan
perjanjian asuransi yang dibuat oleh tertanggung dan penanggung itu terjadi dan
mengikat kedua pihak yaitu:
1.
Teori tawar-menawar dan teori penerimaan
Teori tawar-menawar
(bargaining thoery). Menurut teori ini, setiap perjanjian hanya akan terjadi
antara kedua belah pihak apabila penawaran (offer) dari pihak yang satu
dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak yang lainnya dan sebaliknya.
Keunggulan toeri tawar-menawar adalah kepastian hukum yang diciptakan
berdasarkan kesepakatan yang dicapai oleh kedua pihak dalam asuransi antara
tertanggung dan penanggung.
Teori penerimaan
(acceptance theory). Dalam hukum Belanda, teori ini disebut ontvangst theorie
mengenai saat kapan perjanjian asuransi terjadi dan mengikat tertanggung dan
penanggung, tidak ada ketentuan umum dalam undang-undang perasuransian, yang
ada hanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak (pasal 1320 KUH Perdata). Menurut
teori penerimaan, perjanjian asuransi terjadi dan mengikat pihak-pihak pada
saat penawaran sungguh-sungguh diterima oleh tertanggung. Atas nota persetujuan
ini kemudian dibuatkan akta perjanjian asuransi oleh penanggung yang disebut
polis asuransi.
2.
Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara
tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (pasal 255 KUHD).
Polis ini merupakan
satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah
terjadi. Untuk mengatasi kesulitan jika terjadi sesuatu setelah perjanjian
namun belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah dibuatkan atau belum
ditandatangi atau sudah di tandatangi tetapi belum diserahkan kepada
tertanggung kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian tertanggung.
Pada pasal 257 KUHD memberi ketegasan, walaupun belum dibuatkan polis, asuransi
sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan. Sehingga hak
dan kewajiban tertanggung dan penanggung timbul sejak terjadi kesepakatan
berdasarkan nota persetujuan. Bila bukti tertulis sudah ada barulah dapat
digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam hukum acara perdata. Ketentuan ini
yang dimaksud oleh pasal 258 ayat (1) KUHD.
3.
Pembuktian syarat/janji khusus asuransi
Syarat-syarat khusus
yang dimaksud dalam pasal 258 KUHD adalah mengenai esensi inti isi perjanjian
yang telah dibuat itu, terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban
tertanggung dan penanggung seperti: penyebab timbul kerugian (evenemen); sifat
kerugian yang menjadi beban penanggung; pembayaran premi oleh tertanggung; dan
klausula-klausula tertentu.
C.
Polis Bukti Asuransi
1.
Fungsi Polis
Sebagai alat bukti
tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara
tertanggung dan penanggung, sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum
dalam polis harus jelas, juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus
yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban.
2.
Isi Polis
Menurut ketentuan
Pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa, harus memuat
syarat-syarat khusus yakni 1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
2) Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga; 3)Uraian yang
jelas mengenai benda yang diasuransikan; 4) Jumlah yang
diasuransikan; 5) Bahaya-bahaya/evenemen yang ditanggung oleh penanggung; 6)
Saat bahaya/evenemen mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan
penanggung; 7) Premi asuransi; 8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui
oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan oleh para pihak; 9)
Semua keadaan dan syarat-syarat khusus.
3.
Jenis Polis
Adapun jenis-jenis
polis yaitu: 1) Polis maskapai; 2) Polis bursa; 3) Polis lioyds; 4) Polis
perjalanan dan; 5) Polis waktu.
4.
Klausula Polis
Yaitu meliputi
klausula premier risque, all risks, sudah diketahui (all seen), renunsiasi
(renunciatin) dan klausula free particular average (FPA).
5.
Pembuatan dan Penyerahan Polis
Menurut ketentuan
Pasal 259 KUHD, apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan
penanggung, maka polis harus ditandatangani dan diserahkan oleh penanggung
dalam 24 jam setelah permintaan, kecuali apabila karena ketentuan undang-undang
ditentukan tenggang waktu yang lebih lama. Berdasarkan ketentuan ini, maka
pembuat polis adlah penganggung atas permintaan tertanggung. Penanggung
menandatangani polis tersebut, setelah iyu segera diserahkan kepada
tetanggung. Pembenrtukan polis oleh penanggung sesuai denmgan fungsi polis
sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung.
D.
Asuransi untuk Kepentingan Pihak Ketiga
Asuransi yang diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga harus secara tegas dinyatakan dalam polis.
Pernyataan tegas tersebut perlu, mengingat akibat hukum yang tercantum dalam
Pasal 267 KUHD yang menentukan, apabila dalam polis tidak tidak ditegaskan
bahwa asuransi itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung
dianggap telah mengadaklab asuransi untuk diri sendiri.
E.
Kewajiban dan Pemberitahuan
1.
Syarat Sah Asuransi menurut KUHD.
Syarat-syarat sah
suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHpdt. Menurut ketentuan Pasal tersebut,
ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak,
kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Syarat yang diatur
dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 KUHD:
a.
Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan
penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada
pokoknya meliputi: Benda yang menjadi objek asuransi, Pengalihan
risiko dan pembayaran premi., Evenemen dan ganti
kerugian, Syarat-syarat khusus asuransi, danDibuat secara tertulis yang
disebut polis.
Pengadaan perjanjian
antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara
tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan
perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung
artimya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa
perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang.
Dalam Pasal 260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan
seorang makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam
waktu 8 (delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a)
undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat
menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka
transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut
makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang. Kesepakatan
antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada
di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak
sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun
1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan
pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial.
Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas
memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu
mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang
diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh
dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
b.
Kewenangan (authority)
Kedua pihak
tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh
undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada
yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa,
sehat ingatan, tidak berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan pemegang
kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan sah
dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan milknya
sendiri. Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan
Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan
itu untuk kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang mengadakan asuransi
itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang
bersangkutan. Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak
hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan
internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan
pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual beli objek asuransi, asuransi
untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka
pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak
mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
c.
Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam
Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta
kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa
jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan
yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian
sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian
Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi
tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa
jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya
dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya,
apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya. Karena yang
mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan
langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan
langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga
yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila
tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus
dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan
atas objek asuransi.
d.
Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal
maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang,
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan
benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda
tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama
dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang
halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah
beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi.
Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung
menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko
beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
e.
Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib memberitahukan
kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada
saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya
asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang
salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh
tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban
pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi
pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban
pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak
dari tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan,
juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung
telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan
tegas dalam polis dengan klausa ”sudah diketahui”.
2.
Pemberitahuan Upaya Pencegahan
Kerugian
Selain pasal 251 KUHD,
ada lagi pasal-pasal yang mengatur tebntang kewajiban pemberitahuan dari tertanggung,
yaitu Pasal 283 KUHD. Namun, pasal ini tidak mengancam dengan kebatalan,
tetapai dengan membayar uang kerugian bagi tertanggung yang lalai. Pasal ini
dityujukan kepada peristiwa yang mengancam benda asuransi, kemungkinan besar
akan terjadi atau sudah mulai terjadi.
Makna Pasal 283 KUHD
ini adalah jika dalam usaha tertanggung ityu mengeluarkan biaya, dia harus
memberitahukan kepada penanggung dan penanggung akan mengganti biaya yang telah
dikeluarkan oleh tertanggung meskipun jumlah kerugian yang ditanggung ditambah
dengan biaya yang telah dikeluarkan itu melebihi jumlah yang
diasuransikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Terjadinya perjanjian asuransi yakni: 1) Teori tawar menawar dan
teori penerimaan; 2) Asuransi bersifat tertulis ; dan 3) Pembuktian
syarat/janji khusus asuransi.
2.
Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara
tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (pasal 255 KUHD). Polis ini
merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi
telah terjadi.
3.
Klausula polis meliputi klausula premier risque,
klausula all risks, klausula sudah diketahui (all
seen), klausula renunsiasi (renunciatin) dan klausula free particular
average (FPA).
4.
Syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan
yang diatur dalam pasal 251 KUHD yaitu: a) Kesepakatan (consensus);
b) Kewenangan (authority); c) Objek Tertentu (fixed object);
d) Kausa yang Halal (legal cause); dan e) Pemberitahuan
(notification).
B.
Saran
Demikanlah yang dapat kami sampaikan, Kami sadar
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik, saran, atau masukan demi sebuah perubahan menuju arah yang
lebih baik. Mudah-mudahan makalah ini dapat sedikit menambah pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T, 2001, Hukum Perusahaan Indonesia, Bagian 1, Jakarta: Pradana Paramita.
Kansil, C.S.T, 2001, Hukum Perusahaan Indonesia, Bagian 2, Jakarta: Pradana Paramita.
Muhammad, Abdulkadir, 2002, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Prakoso, DJoko dan I Ketut Murtika, 1987, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan
Pertama, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sri Redjeki, 1992. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Edisi Pertama, Jakarta:
Sinar Grafika.
0 Komentar