BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah unsur yang sangat penting dalam
kelangsungan hidup setiap manusia karena pada dasarnya seseorang itu
membutuhkan persiapan yang matang dalam merencanakan dan melangsungkan masa depan.
Dari usaha dan hasil yang di tempuh itu berhasil atau tidaknya tergantung pada
setiap usaha yang dilakukan, manusia dibekali oleh Allah SWT sebuah akal yang
pada fitrahnya digunakan untuk berpikir dan bagaimana untuk melangsungkan
kehidupanya yang kelak dari hasilnya itu dapat dipertanggung jawabkan pada hari
akhir. Berbicara tentang dunia pendidikan tidaklah lengkap bila tidak mengkaji
satu persatu apa yang ada dalam pelaksanaanya, namun di sini penulis membatasi
kajian penulisan ini hanya tertuju pada peserta didik.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian peserta didik ?
2. Bagaimana pandangan filsafat
mengenai pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peserta Didik
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, murid berarti orang (anak yang sedang berguru (belajar, bersekolah).[1]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Shafique Ali Khan, murid (pelajar) adalah orang
yang datang ke suatu lembaga untuk memperoleh atau mempelajari beberapa tipe
pendidikan. Seorang pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan
berapa pun usianya, dari mana pun, siapa pun, dalam bentuk apa pun, dengan
biaya apa pun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka
mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan kebaikan.[2]
Murid atau anak didik adalah salah
satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses
belajar-mengajar. Di dalam proses belajar-mengajar, murid sebagai pihak yang
ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara
optimal. Murid akan menjadi faktor penentu, sehingga dapat mempengaruhi segala
sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.
Murid atau anak adalah pribadi yang
“unik” yang mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses
berkembang itu anak atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan coraknya
tidak ditentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam suatu kehidupan
bersama dengan individu-individu yang lain.[3]
Dalam proses belajar-mengajar yang
diperhatikan pertama kali adalah murid/anak didik, bagaimana keadaan dan
kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain. Apa
bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat atau
fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan
keadaan/karakteristik murid. Itulah sebabnya murid atau anak didik adalah
merupakan subjek belajar.
Dengan demikian, tidak tepat kalau
dikatakan bahwa murid atau anak didik itu sebagai objek (dalam proses
belajar-mengajar). Memang dalam berbagai argumen dikatakan bahwa murid/anak
didik dalam proses belajar-mengajar sebagai kelompok manusia yang belum dewasa
dalam artian jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, memerlukan pembinaaan,
pembimbingan dan pendidikan serta usaha orang lain yang dipandang dewasa, agar
anak didik dapat mencapai tingkat kedewasaanya. Hal ini dimaksudkan agar anak
didik kelak dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa, warga negara, warga masyarakat dan pribadi yang bertanggung jawab.
Pernyataan mengenai anak didik
sebagai kelompok yang belum dewasa itu, bukan berarti bahwa anak didik itu
sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan kemampuan. Anak didik
secara kodrati telah memiliki potensi dan kemampuan-kemampuan atau talent
tertentu. Hanya yang jelas murid itu belum mencapai tingkat optimal dalam
mengembangkan talent atau potensi dan kemampuannya. Oleh karena itu, lebih
tepat kalau siswa dikatakan sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar,
sehingga murid/anak didik disebut sebagai subjek belajar.
B.
Pendidikan
Pada
hakikatnya yang disebut pendidikan adalah pengaruh, bimbingan, arahan dari
orang dewasa kepada anak yang belum dewasa agar menjadi dewasa, mandiri, dan
memiliki kepribadian yang utuh dan matang. Kepribadian yang dimaksud adalah
semua aspek yang ada sudah matang yaitu meliputi cipta, rasa, dan karsa.
Artinya, perbuatan yang dilakukan oleh pendidikan tersebut sadar. Pengaruh yang
diberikan oleh pendidik itu selalu ditujukan untuk membentuk pribadi, jadi
selalu menanamkan nilai-nilai, termasuk nilai moral, budi pekerti, etika,
estetika, karakter. Diharapkan setelah mereka dewasa menjadi insan yang berguna
bagi dirinya sendiri dan bagi nusa, bangsa, negara, dan agama. Peserta didik
mula-mula tidak mengerti bahwa mereka dididik atau dipengaruhi agar menjadi manusia
yang baik, tetapi setelah matang, akhirnya tahu juga. Kematangan anak penting
sekali untuk diketahui oleh pendidikan supaya pengaruh yang diberikan tepat
memenuhi perkembangan-perkembangan anak, jiwa anak dan masa peka anak. Dalam
pelaksanaannya, pendidik harus mempunyai kepercayaan bahwa ia mampu mendidik
anak, begitu sebaliknya anak lama-lama setelah matang, juga mempunyai
kepercayaan bahwa pendidik yang mendidiknya mampu membuat dirinya menjadi
manusia dewasa yang berkepribadian.
Secara
teoritis, pendidikan itu akan berakhir jika anak telah dewasa atau telah
berkeluarga. Dewasa ini dalam pengertian secara integral, menyeluruh yaitu
usianya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, sehingga bertingkah laku dewasa,
tidak kekanak-kanakan. Sebelum bertindak harus dipikirkan masak-masak, jangan
sampai menyinggung orang lain. Segala tingkah lakunya dapat dipertanggung
jawabkan oleh orang tersebut (diri sendiri yang berbuat).
Pada
saat ini ada istilah pendidikan berlangsung sepanjang hayat, seumur hidup maksudnya
setelah dewasa (tujuan pendidikan secara teoritis), lalu orang tersebut belajar
terus untuk meningkatkan kemampuannya, namun kegiatan ini atas tanggung jawab
sendiri, bukan tanggung jawab orang tuanya. Jadi kegiatan ini lebih belajar
seumur hidup atau mengenyam pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebanyak-banyaknya. Dengan uraian ini, kedua pengertian itu semuanya
betul, istilahnya sama yaitu pendidikan, namun konteksnya berbeda.
C.
Landasan Sosial dan Individual
Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam
kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro
pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif
tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau
sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara
orang tua dan anak serta anak lainnya.[4]
Pendidikan dalam skala mikro
diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti
perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai
individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada
manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya
hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan
akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara
progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang
mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing
bernilai setara.
Pada skala makro pendidikan
berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa,
antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan
masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan
bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian
nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan
masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro
maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan
bersama-sama
Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala
sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah.
Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan
perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka
pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan
tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta
didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.[5]
BAB
III
KESIMPULAN
Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis
yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi
serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya
mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi,
sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan
konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka
konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus
tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas
keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan
lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan
Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi,
Abu dan Joko Tri Prasetya, Strategi
Belajar Mengajar (Bandung: Pustaka Setia),
1997.
Arifin, H.M., 2003, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Dep.
Pend. Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka: Jakarta), 1990.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kurikulum
Pendidikan Dasar, Landasan Program dan Pengembangan. Jakarta: Depdikbud.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Petunjuk
Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Makmun,
Abi Syamsuddin, 1996, Psikologi
Kependidikan, Bandung: Penerbit Rosdakarya.
Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam (Bandung:
Rosadakarya), 2002.
Nana
Syaodih, 1997, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdkarya
Shafique
Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali
(Pustaka Setia: Bandung), 2005.
Zakiah
Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran
Agama Islam (Bumi Aksara: Jakarta), 1995.
0 Komentar