BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Mawaris merupakan segala sesuatu yang mengatur tentang kewarisan.
Dalam kajian ini juga dibahas terkait perhitungan-perhitungan pembagian
warisan. Al Mawaris pun mempunyai bagian-bagian, syarat-syarat, jalur-jalur
dan juga siapa-siapakah yang berhak mendapatkannya.
Al-Takharruj merupakan salah satu
bentuk pembagian harta warisan secara damai berdasarkan musyawarah antara para
ahli waris. Namun dalam perhitungannya, mesti menghitungnya
dengan teliti dan seksama karena dalam perhitungannya pasti memakai konsep
matematika yang sebagian orang merupakan pekerjaan yang melelahkan dan harus
memakai pikiran yang maksimal.
Olehnya itu, pada makalah ini akan dibahas terkait Munasakhat dan hal-hal yang berkaitan dengannya sebagai ilmu dasar dalam mempelajari Al Mawaris. Mulai dari pengertian sampai pembagian-pembagiannya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dalam hal kewarisan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimakah defenisi Munasakhat ?
2. Bagaimanakah Rincian Amaliah al-Munasakhat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan
'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya
menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla
yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai
dengan firman Allah SWT berikut:
"...
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."
(al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106)
Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid
ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga
bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli
waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum
dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini
akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan
sebutan al-jami'ah.
Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan. Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua
adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal
jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua
orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak
laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan.
Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat
anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak
perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka
ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama
(ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal
jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya
ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang
kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal
berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara
kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan
mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama
faraid sebagai masalah al-jami'ah.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua
bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk
sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari pewaris
pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan
teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda
dan berlainan.
B. Amaliah al-Munasakhat
Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah
al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus melakukan langkah-langkah berikut:
- Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
- Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewaris kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
- Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.
- Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antara keduanya --yakni antara bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama (lihat tabel).
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak
perempuan, dua saudara kandung perempuan, dan seorang saudara kandung
laki-laki. Kemudian salah seorang saudara kandung perempuan itu meninggal.
Berarti ia meninggalkan seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara
kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
tiga (3). Ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (2 bagian). Dan sisanya (satu
bagian) merupakan hak para 'ashabah (yakni dua saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki).
Kemudian kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun
(perbedaan), maka 3 x 4 = 12. Kemudian angka ini kita kaLikan dengan pokok
masalahnya, berarti 3 x 12 = 36. Bilangan inilah yang kemudian menjadi pokok
masalah hasil pentashihan. Jadi, pembagiannya seperti berikut: ketiga anak
perempuan mendapat 2/3 (24 bagian), dan sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua
orang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki, dengan
ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan, jadi setiap saudara
kandung perempuan mendapat tiga (3) bagian, dan saudara laki-laki kandung enam
(6) bagian.
Kemudian, kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3)
dengan pokok masalahnya (juga dari 3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu,
al-jami'ah di sini sama dengan hasil pentashihan pada masalah yang pertama
(yakni dari 36).
Kemudian, hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang
meninggal (3 bagian) hanya dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara
kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil
pembagian itu ditambahkan pada hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian
saudara kandung perempuan menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang
diperolehnya dari masalah pertama-- ditambah dengan bagian yang berasal dari
saudara kandung perempuan yang meninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).
Sedangkan saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2)
bagian, yang kemudian ditambahkan dengan perolehannya dari peninggalan pada
masalah pertama, yaitu enam (6) bagian. Maka saudara laki-laki kandung
memperoleh delapan (8) bagian.
Adapun tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah
kedua ini tidak mendapatkan hak waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai
keponakan pewaris kedua, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris
kedua. Karena itu, mereka mahjub. Berikut ini kami sertakan tabelnya:
Jumlah
kepala
|
Tashih
masalah ke I
|
al-Jami'ah
|
12
|
3
|
36
|
3
|
36
|
|
3
anak pr. 2/3
|
2
|
24
|
-
|
24
|
|
Sdr.
kandung pr.
|
3
|
meninggal
|
-
|
-
|
|
Sdr.
kandung pr.
|
1
|
3
|
Sdr.
kandung pr.
|
1
|
3+1=4
|
Sdr.
kandung lk.
|
6
|
Sdr.
kandung lk.
|
2
|
6+2=8
|
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah,
ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal
dengan meninggalkan suami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut:
“Pokok
masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu 1/6
(4 bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan
sisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah
semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.”
Kemudian, kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama
dengan pokok masalah pertama, yaitu dua puluh empat (24). Hal ini karena kita
dapati bagian pewaris kedua (cucu perempuan keturunan anak laki-laki) dalam
masalah pertama ada tamatsul (kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam
keadaan demikian, kaidah yang berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita
menjadikan pokok masalah pertama sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian
pewaris kedua hanya dibagikan kepada ahli warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak
lagi membuat al-jami'ah yang baru, tetapi cukup menjadikan al-jami'ah yang
pertama itu berlaku pada masalah kedua. Berikut ini tabelnya:
Pokok
Masalah I
|
Pokok
Masalah II
|
al-Jami'ah
|
||
24
|
12
|
24
|
||
Istri
1/8
|
3
|
3
|
||
Ibu
1/6
|
4
|
-
|
4
|
|
Ayah
('ashabah)
|
5
|
-
|
5
|
|
Cucu
pr. keturunan anak lk. 1/2
|
12
|
meninggal
|
-
|
|
Suami
1/4
|
3
|
3
|
Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan
meninggalkan suami, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan
meninggalkan saudara kandung perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki
seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
“Pokok
masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Sedangkan pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi
tiga belas (13).”
Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah
mendapatkan seperenam (1/6) berarti dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu
yakni seperenam (1/6), berarti dua bagian.
Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3)
berarti delapan (8) bagian. Jumlahnya lima belas (15) bagian.
Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang
kedua ada mubayanah (perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama
(yakni 15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari
perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua
masalah.
Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang
mendapat tiga bagian) di atas pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us
sahm (bagian dari bagian hak waris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan
dengan bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian
ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan
kebenaran masalah kedua ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara
juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti
3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagian seluruh ahli waris dalam
masalah kedua. Lihat tabel berikut:
13
|
3
|
|||
12
|
15
|
12
|
13
|
39
|
Suami
1/4
|
3
|
meninggal
|
-
|
-
|
Ayah
1/6
|
2
|
-
|
26
|
|
Ibu
1/6
|
2
|
-
|
26
|
|
2
anakperempuan (2/3)
|
8
|
-
|
104
|
|
Sdr.
Kandung perempuan (2/3)
|
6
|
18
|
||
Ibu
1/6
|
2
|
6
|
||
Istri
1/4
|
3
|
9
|
||
Sdr.
laki-laki seibu 1/6
|
2
|
6
|
Catatan
Kemungkinan besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih
dari satu. Misalnya, dalam suatu keadaan pembagian waris salah seorang ahli
warisnya wafat sebelum pembagian, kemudian ada lagi yang meninggal, dan
seterusnya. Maka jika terjadi hal seperti ini, kita tetap harus menempuh cara
seperti yang telah kita tempuh dalam al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih
kedua pada posisi pertama, dan tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya.
Dan hasilnya dinamakan al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.
Untuk menjelaskan hal ini perlu kiranya kami kemukakan
contoh tentang bentuk al-jami'ah yang lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang
wafat meninggalkan suami, saudara perempuan seibu, dan paman kandung (saudara
ayah). Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga
meninggal, dan meninggalkan nenek, dua saudara kandung perempuan, dan dua
saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel berikut:
2
|
1
|
7
|
3
|
8
|
|||
6
|
6
|
12
|
6
|
7
|
84
|
||
Suami
1/2
|
3
|
meninggal
|
-
|
||||
Sdr.pr.
seibu 1/6
|
1
|
2
|
14
|
||||
Paman
('ashabah)
|
2
|
4
|
28
|
||||
Anak
perempuan 1/2
|
3
|
3
|
meninggal
|
||||
Cucu
pr. 1/6
|
1
|
1
|
-
|
7
|
|||
Ayah
1/6
|
1
|
1
|
-
|
7
|
|||
Ibu
1/6
|
1
|
1
|
-
|
7
|
|||
Nenek
1/6
|
1
|
3
|
|||||
2
sdr. kandung pr. 2/3
|
4
|
12
|
|||||
2
sdr. lk. saudara seibu 1/3
|
2
|
6
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Munashakat merupakan meninggalnya
sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah
kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal,
sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka
hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul
suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan
al-jami'ah.
Adapun mengenai
prosesnya atau rincian amaliyah dari Munasakhat ini tak bisa disimpulkan karena
merupakan proses panjang yang harus dilalui dengan teliti sehingga perlu waktu
yang lebih banyak lagi untuk hal ini. Namun, pada intinya hal ini harus diatur
dalam ilmu faraid karena bisa saja hal ini terjadi di kalangan dekat kita
sehingga harus dipelajari lagi bagaimana cara kerja atau proses yang harus
dijalani dalam Munasakhat ini.
B.
Saran-Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya. Kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, saran dan kritik yang
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
0 Komentar