Makalah Hak Waris Anak dalam Kandungan, Anak Zina, dan Anak Li'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah, anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
secara optimal dan terarah.
Anak juga merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga, dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah hak waris terhadap anak yang masih dalam kandungan ?
2.      Bagaimanakah hak waris terhadap anak Zina ?
3.      Bagaimanakah hak waris terhadap anak Li’an ?













BAB II
PEMBAHASAN
A.      Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
  1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
  2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal."

Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)

Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.

B.       Anak zina
Anak Zina ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan wanita tanpa nikah. Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut “Walad Ghairu Syar’iy”, dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan itu disebut “Ab Ghairu Syar’iy.
Anak Ghairu Syar’iy atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan Ab Ghairu Syar’iy menurut hukum, karena tidak ada hubungan waris-mewarisi. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi. Demikian pula anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan kerabat ibunya. Yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris.
Dengan pelaksanaan pemberian warisan pada anak tersebut ialah seperti apabila seseorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris :
1.      Seseorang suami, yaitu A
2.      Dua anak laki-laki, yaitu B dan C
3.      Seorang anak laki-laki (anak zina), yaitu D
Maka pembagiannya ialah sebagai berikut :
Suami mendapat ¼ bagian, sedang dua orang anak sebagai ‘ashabah bersama-sama dengan seorang anak laki-laki yang mendapat kwlifikasi anak Zina tersebut. Asal masalahnya 4, atau 24, maka bagian mereka masing-masing, seperti berikut ini :
A, mendapat 1/4 x 4 = 1, atau 1/4  x 24 = 6.
B, C, dan D, semuanya mendapat 3/4  atau 3/24, yang masing-masing mempunyai bagian yang sama, sehingga :
B = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
C = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
D = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
Hadits riwayar Amr bin Syu’aib darI bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :
“Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054)

Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar'i.
Untuk kasus zina jika orang tua/pelaku tidak mengakui bahwa anak tersebut hasil zina maka diperinci.
Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan :
1.      Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).
2.      Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.
3.      Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.

C.      Anak Li’an
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. (Pengertian ini dikutip dari kitab al-Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321, terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan).
Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an.
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang menuduh istri-isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?”

Kemudian isterinya bangun lalu memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia (bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2098, Fathul Bari VIII: 449 no: 4747, ’Aunul Ma’bud VI: 341 no: 2237, Tirmidzi V: 12 no: 3229 dan Ibnu Majah I: 668 no: 2067).
1.      Hukum-Hukum yang Menimpa Orang yang Melakukan Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :

a.       Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494).

b.      Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410).

c.       Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 456 no: 5311, Muslim II: 1130 no: 1493, ‘Aunul Ma’bud VI: 347 no: 2240 dan 2241, Nasa’i VI: 177).

d.      Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II: 1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI: 348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI: 178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069).

e.       Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan yaitu, Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat dan Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan. Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar'i.
Kata li’an menurut bahasa berarti saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
B.       Saran-saran
Demikianlah makalah ini kami paparkan dan kami merasa bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk perbaikan makalah ini. Dan kami berharap semoga isi makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
                                                     DAFTAR PUSTAKA          
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. Diponegoro, 2005.
Mughniya, Muhammad Jawad, fiqih Lima Madzab. Jakarta : Lentera 2006.
Sayyid sabiq, Fiqh Assunah, Bairut Dar Al-Tsaqofah : jilid II.
Drs.H.Suparman Usman,S.H & Drs.Yusuf Somawinata.Fiqh Mawaris;Sebtamber 1997:Gaya Media Pratama Jakarta




Previous
Next Post »
0 Komentar