Makalah Pemikiran Pendidikan Islam, Riwayat Hidup dan Konsep Pendidika K.H. Wahid Hasyim



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Berbicara tentang pendidikan merupakan bagian dari substansi kehidupan yang menjadi sistem organik dalam kehidupan manusia. Aktualisasi pendidikan upaya secara filosofis fungsionalisasinya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, bangsa dan negara. Dalam memproduksinya, yang dapat teraktualisasikan di lapangan tentunya tidak lepas dari internalisasi nilai-nilai moralitas (qolbu), rasionalitas (‘aql), ketrampilan.
Namun, pendidikan yang sudah terkonsep matang oleh pemerintah, seakan masih dalam batas ruang lingkup pendidikan umum, sehingga pendidikan yang ada terkesan menuai dikotomi-sekularisme dengan pendidikan Islam. Hal ini perlu kita renungi bersama, bahwa kesan pesimisme yang berbau dualisme, perlu kita kaji kembali untuk lebih mengingat pada saat puncak sebuah peradaban Islam empat abad pertama sejak munculnya agama ini (7 s.d 11 M) tidaklah ditemukannya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Tapi tidaklah menyangka, perdebatan ini telah dianalsis untuk diintegrasikan oleh KH. Wahid Hasyim yang mempedulikan dua elemen pendidikan yang seharusnya dikorelasikan kembali secara konsisten-permanen melalui kurikulum yang tepat.

B.        Rumusan Masalah
1.         Apa peran KH. Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan ?
2.         Bagaimana pola karakteristik dari pendidikan Islam yang menjadi pemikiran cemerlang beliau, sehingga kebijakan pendidikan Islam dan umum mampu diintegrasikan ?

 



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Tentang KH. Wahid Hasyim
KH. Wahid Hasyim adalah salah salah satu putra dari pengasuh pondok pesantren Tebuireng atau pendiri organisasi terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama), al maghfurlah hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, KH. Wahid Hasyim juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya. Sebagai anak tokoh, KH. Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Selain ketidakminatannya, melainkan juga soal kengganannya untuk mengabdi pada Belanda yang telah membakar pesantren ayahnya pada tahun 1913 serta membodohkan masyarakat Indonesia melalui kebijakan politisnya. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab.
KH. Wahid Hasyim mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik. Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Sepulang dari Lirboyo, KH. Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya, pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, karena KH. Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Kegemaran dalam dunia pendidikan, pada usia 10 tahun, beliau sudah berkelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena ghirah intelektualnya, pada usia 17 tahun beliau bertolak ke Mekkah. Pada dasarnya, cerminan kecintaan pada dunia pendidikan tidak lepas peran lingkungan pesantren yang diasuh ayahnya, karena pesantren Tebuireng menjadi basis perintis pendidikan Islam di Jawa Timur.
Sehingga kecintaan KH. Wahid Hasyim dalam memproduksi pola pikir yang konstruktif mulai ditampakkan di saat awal mula kecintaan beliau pada pendidikan sampai beliau pulang dari Mekkah dengan mencoba mengkolaborasikan kurikulum pesantren dengan kurikulum pendidikan umum dengan mendirikan madrasah salafiyah yang dipimpin oleh KH. Ilyas dengan mengkolabosarikan kurikulum umum. Sehingga kurikulum yang ditampilkan dalam sistem pendidikan di pesantren Tebuireng pada saat itu menggunakan sistemasisai kurikulum zaman romawi yang dapat menguatkan aspek-aspek fitrah keagamaan kemampuan aktual yang mengarah pada suatu kebaikan.

B.        Peran KH. Wahid Hasyim dalam Pendidikan
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa KH. Wahid Hasyim selain sebagai salah satu ulama dan putra ulama al-maghfurlah hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari serta kecintaanya dalam dunia pendidikan, beliau juga dikenal sebagai seorang tradisionalis Nahdlatul Ulama yang reformis, populis, modernis serta progresif dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kecintaan Beliau juga tidak sekedar pada ilmu yang bersifat personal, melainkan aplikatifnya di setiap otoritas-otoritasnya. Sehingga melalui otoritasnya, mampu mengangkat pendidikan pesantren yang selalu dianak tirikan dari pendidikan umum.
1.      Otoritas Sebelum Menjadi Kamenag RI
Sebelum menjabat menjadi kepala menteri agama RI, KH. Wahid Hasyim terkenal dengan kharismatiknya dalam keilmuannya. Di antara kebijakannya: 1) KH. Wahid Hasyim selalu mengusulkan dan berusaha merevisi kurikulum pesantren Tebuireng, yang pada saat itu masih dipimpin ayahnya. 2) Selain mengusulkan sebuah reformasi kurikulum, KH. Wahid Hasyim juga mengusulkan perlunya pengajaran yang ada di pesantren tidak sebatas pada sistem klasikal. Namun, perlunya dekontruksi-rekontruksi ulang untuk meningkatkan mutu kualitas output dari pesantren menggunakan sistematika pelajaran secara tutorial. 3) Pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren manapun di Indonesia. 4) Saat memimpin Masyumi, ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim. 5) Pada tahun 1935, KH. Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum berisi materi pelajaran umum, dan akhirnya di ridhoi oleh sang ayah. 6) Pada saat KH. Wahid Hasyim menjabat ketua MIAI, beliau melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama.
2.      Otoritas Saat Menjabat Menteri Agama RI
Selain otoritasnya yang begitu cemerlang, otoritas yuridis pada saat menjabat menteri agama juga membuat pengaruh signifikansi pada pendidikan yang ada di Indonesia. Di antaranya: 1) Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. 2) Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta. 3) Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga. 4) Pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kyai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.

C.        Analisis Kurikulum, Pemikiran KH. Wahid Hasyim
Saat menjabat menjadi menteri agama RI, yaitu: Pertama, tentang usulan KH. Wahid Hasyim atas perombakan kurikulum pesantren Tebuireng dengan menyisipkan pendidikan umum, selain sisi sebagai memenuhi standarisasi lulusan bagi para santri yang cakap dan mandiri, juga sebagai bentuk aktualisasi kebijakan KH. Wahid Hasyim dalam standarisasi isi dalam dunia pendidikan, sehingga terciptanya keseimbangan (tawazun) ilmu-ilmu naqli’ah dan ‘aqliyah. Kedua, tentang kebijakan beliau tentang sistem transformasi pembelajaran yang beliau ajukan dengan melengkapi sistem pembelajaran klasikal dengan tutorial.
Walau belum menjabat sebagai menteri agama, beliau mampu menerapkan sistem tutorial di samping berjalannya sistem klasikal dalam pembelajaran khususnya di pesantren Tebuireng, sehingga secara tidak langsung sistematika standar proses yang sering kita sebut sebagai metode (kaifiyah), dapat diaplikasikan secara konstektual pada saat itu. Ketiga, peran serta beliau dalam dunia pendidikan juga turut andil dalam pendirian universitas, maupun sekolah guru agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, Salatiga, dan Yogyakarta, serta Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN.
Keempat, tentang kebijakan beliau dalam Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Secara tidak langsung, sisitematika perencanaan yang mampu dimaknai secara holistik dengan kaitanya pada standarisasi sarana dan prasana menjadi simpul kepastian kebijakanya. Karena tentunya, pada setiap kebijakan yang diambil, tidak semata-mata tanpa perencanaan dan pemberian akomodatif dalam bidang pendidikan.
Dari berbagai jenis pengorganisasian kurikulum di atas, pada hakekatnya telah diintegrasikan secara universal oleh beliau KH. Wahid Hasyim, melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat pasti melalui kebijakan yuridis di saat menjabat menteri agama, maupun kebijakan mikro-penafsiran sesaat sebelum menjabat menjadi menteri agama. Sehingga, dengan penilaian pendidikan yang aplikatif pada KH. Wahid Hasyim mampu meningkatkan dan mendekatkan nilai-nilai filosofis pendidikan yang terintegrasi antara pendidikan Islam dan umum.

D.       Analisis Metode Pendidikan KH. Wahid Hasyim
Berbicara tentang metode yang gaya dalam pembelajaran yang ditawarkan KH. Wahid Hasyim bersifat integratif antara gaya klasikal (pesantren) dengan gaya pendidikan umum (tutorial). Inilah salah satu kebijakan beliau tentang metode yang tersurat menjadi kebijakan awal dalam menawarkan konsep metode pendidikan di pesantren ayahnya (Tebuireng). Jika kita analisa, tutorial adalah metode yang sering teraplikasikan di sekolah umum saat itu, lepas dari pengatasnamaan bahwa metode ini milik sekolah umum.
Secara hakekatnya metode ini memiliki kelebihan serta kekurangannya, di antaranya bahwa metode tutorial adalah metode penguasaan, pemahaman dan analisa dari setiap mata pelajaran, sehingga kelebihan metode adalah keaktifan peserta didik sangat menentukan signifkansi keilmuan dan perkembangan intelektual dari peserta didik, sehingga dalam metode ini lebih menekankan pada sistem diskusi. Namun, titik kelemahannya bahwa tidak sepenuhnya metode ini dapat diaplikatifkan jika metode pembelajaran masih pada taraf doktrinisme ketauhidan pada peserta didik yang masih di bawah umur, sehingga seharusnya metode yang diaplikatifkan adalah metode klasikal.






BAB III
Kesimpulan
Pada dasarnya, peran serta KH. Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan adalah sebagai promotor yang bersifat tawasuth-tawazun dalam merespon realita dikotomi pendidikan, sehingga dengan bekal yang dimiliki oleh beliau yang mempunyai tekad dalam menyatukan dua dikotomi yang mensekulerisasi ilmu umum, dengan cara mengislamisasi ilmu sebagaimana ulama faruqi, maupun dengan metode pengambilan teori qurani dengan merelevansikan dan mengitegrasikannya.
Karakteristik kebijakan dari pemikiran KH. Wahid Hasyim dalam pendidikan berpola sentrifugal. Maksud dari pola ini, bahwa secara tidak langsung KH. Wahid Hasyim memadukan nilai-nilai yang ada di dalam pendidikan Islam dengan nilai-nilai umum yang bersifat keluar.
Pola karektirisitik kedua, berdasarkan studi yang dilakukannya, model atau metode yang diterapakan KH. Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan berupa interpaternisasi, maksudnya bahwa pendidikan Islam di Indonesia tidak didasarkan pada sebatas pengembangan hukum-hukum yang bersifat ibadah mahdoh, namun perlunya relevansinya dalam produktifitas ibadah ghoiru mahdoh.
Pola pendidikan ketiga, bahwa karakteristik dari pendidikan Islam perlu adanya suatu lintas kurikulum, baik kurikulum umum maupun Islam. Hal ini diyakini beliau ketika aplikatif penerapanya melalui usulan kepada ayahnya di pesantren Tebuireng. 




DAFTAR PUSTAKA
Khuluq, Lathiful. 2008. Fajar Kebangkitan Ulama, Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Mustofa dan Abdulloh Aly. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Muhaimin dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raharjo, Rahmat. 2010. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Magnum Pustaka.
Rifai, Mohammad. 2009. Wahid Hasyim. Yogyakarta: Ar-ruz Media.
Previous
Next Post »
0 Komentar