Sejarah Peradaban Islam, Bani Abbas



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejarah telah mencatat kegemilangan dan keberhasilan dunia Islam dalam menciptakan peradaban dunia yang begitu luar biasa hebatnya. Bermula dari kegelisahan seorang Muhammad bin Abdullah mengenai kondisi umat sekitarnya yang telah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan sampai pada terbentuknya tatanan dunia yang baru dan diakui kehebatan dan kemuliannya oleh dunia. Hal inilah mungkin yang menjadi salah satu warisan para penerus beliau selanjutnya dalam mengendarai peradaban tersebut.
Berkembangnya sains dan teknologi saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah besar dunia Islam yang telah memberikan sumbangsih terbesar dalam meningkatnya kualitas kehidupan manusia di dunia ini. Daulah Bani Abbasiyah merupakan salah satu bentuk kekuasaan yang paling besar jasanya dalam memberikan sumbangsih tersebut. Ilmuan-ilmuan pada masa itu telah mencatatkan namanya pada kertas sejarah peradaban manusia. Merekalah yang menjadi pelopor-pelopor ilmu pengetahuan yang saat ini kita telah nikmati manfaatnya.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah kemunculan Bani Abbasiyah ?
2.      Bagaimana sejarah kejayaan dan Masa keemasan Bani Abbasiyah ?
3.       Bagaimana Faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah ?
4.      Bagaimana Sebab-sebab kehancuran Bani Abbasiyah ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sejarah Kemunculan Bani Abbasiyah
Abbasiyah merupakan nama klan keturunan Abbas, paman Nabi SAW. Abbas adalah cucu hasyim dari putera Abdul Muthalib. Sebagai bagian dari keluargabesar Bani Hasyim,Abdul Abbas As-Saffah yang mendirikan khilafah Bani Abbasiyahmendapat dukungan dari keluarga bani Hasyim.Keluarga besar bani hasyim memiliki cita-cita agar khilafah Islam tetap dipegang oleh keluarga besar Rasul ataupun sanak saudaranya, bukan oleh keluarga bani umayah.
Gerakan revolusi politik Abbasiyah pertama-tama dilakukan dari Persia dan mendapat dukungan masyarakat Persia, di samping dukungan kuat dari keluarga besar bani abbas dan kaum alawiyyin. Namun demikian, ketika pemerintahan sudah eksis, muncul aturan tata negara yang menyudutkan keluarga Bani Hasyim yang lain. Di dalam tata negara Abbasiyah, orang yang berhak menduduki jabatan khalifah adalah keturunan Abbas,bukan keturunan dari klan yang lain. Bahkan klan Abbasiyah menganggap mereka lebih berhak untuk mewarisi khilafah, ketimbang sub-sub klan bani Hasyim yang lain. Anggapan ini didasarkkan pada nenek moyang mereka, yaitu Abbas, adalah paman Nabi sehingga lebih berhak mewarisi khilafah ketimbang keturunan dari sepupu Nabi ataupun keturunan dari anak perempuan.[1]

B.       Sejarah Kejayaaan dan Masa Keemasan Bani Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).[2]
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
  1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.[3]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Periode Abbasiyah merupakan era pertumbuhan dan pembaruan budaya hingga mencapai puncak kejayaan peradaban. Sejak awal pendirian hingga khalifah Al Watsiq, dinasti Abbasiyah sangat maju di bidang pengembangan ilmu pengetahuan merupakan periode menanjak menuju puncak peradaban yang mencapai kejayaan era Harun Al Rasyid juga era Al Makmun. Prestasi-prestasi intelektual dengan penelitian di berbagai bidang memperolah hasil yang mengagumkan masyarakat dunia hingga dewasa ini. Perkembangan kegiatan ilmiah begitu cepat dan menakjubkan. Para ilmuan dari negeri Abbasiyah berkelana ke berbagai penjuru dunia untuk menuntut ilmu dan mengembangkannya di Baghdad.[4]

C.      Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran Bani Abbasiyah
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
  2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.[5]

D.      Sebab-sebab Kehancuran Bani Abbasiyah
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Diantaranya, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Dan juga serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.[6]
1.      Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen.
Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
2.      Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.[7]





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Ada banyak khalifah yang memerintah pada zaman Dinasti Abbasiyah. Namun, popularitasnya mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik merupakan kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu.

B.       Saran-Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
As Suyuthi, Imam, Sejarah Para Penguasa Islam (Jakarta: Al Kautsar, 2006).
Bakri, Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011).
Hamka, Sejarah Umat Islam, III (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008).


       [1] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), h.47
       [2] Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), h. 127
       [3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.49
       [4] Syamsul Bakri, Op.Cit., h.55
       [5] Imam As Suyuthi, Sejarah Para Penguasa Islam (Jakarta: Al Kautsar, 2006) h.76
       [6] Hamka, Sejarah Umat Islam, III (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
       [7] Imam As Suyuti, Loc. Cit., h. 98
Previous
Next Post »
0 Komentar