BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Usai majelis hakim memvonis M Nazaruddin, terdakwa kasus suap Wisma
Atlet, Nazar tersenyum lebar. Vonis majelis hakim yang hanya 4 tahun 10 bulan
penjara dan denda Rp 200 juta memang layak membuat Nazar lega. Sebab itu jauh
lebih ringan dari tuntutan jaksa yang 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Pro
kontra seputaran kasus korupsi dengan terdakwa M. Nazaruddin memang seakan
tidak pernah habis. Dimulai dari munculnya dugaan korupsi tersebut, proses
penangkapan hingga ke Colombia, jalannya persidangan yang berliku sampai dengan
vonis majelis hakim Tipikor yang sarat dengan berbagai polemik.
Pada kesempatan
ini, penulis mencoba memberikan tanggapan terhadap kasus korupsi dengan
terdakwa M. Nazaruddin khususnya pada bagian vonis majelis hakim dari sudut
pandang rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah Ide dasar Hukum dan Putusan Hakim terhadap
kasus M. Nazaruddin ?
2. Bagaimanakah Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian
Hukumnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ide
Dasar Hukum
Seringkali kita
mendengar diberbagai media mengenai pelaksanaan penegakan hukum yang dinilai
kurang memenuhi rasa keadilan. Di Indonesia sendiri, penegakan hukum
dilaksanakan oleh institusi penegak hukum dalam lingkup Criminal Justice
System (CJS), yang dalam hal ini adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam menghadapi sebuah permasalahan ataupun sengketa
hukum, proses penyidikan biasanya diawali oleh pihak Kepolisian, yang kemudian dilanjutkan
dengan proses penuntutan oleh Kejaksaan untuk diajukan dimuka pengadilan. Peranan
Pengadilan sendiri cukup signifikan dalam menentukan bersalah atau tidaknya
seorang terdakwa hukum. Hakim dalam memutuskan sebuah perkara tentu saja dilaksanakan
berdasarkan fakta persidangan dengan tetap mengacu pada ketentuan pasal 183
KUHAP, yang menyatakan diperlukannya minimal dua alat bukti serta keyakinan
sang hakim. Putusan inilah yang menjadi salah satu faktor penentu apakah hukum dapat
dinilai telah memenuhi ‘rasa keadilan’ ataupun tidak. Banyak pandangan dari
para ahli mengenai konstruksi dasar hukum yang menjadi tujuan hukum itu
sendiri, salah satunya adalah pandangan dari Gustav Radbruch. Pemikiran dasar mengenai tujuan hukum menurutnya
adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Penafsiran dalam
menentukan unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum itu tentu bukanlah
sebuah hal yang mudah, karenanya harus dibuat sebuah skala prioritas untuk
dapat menentukan unsur mana yang perlu didahulukan dengan tidak bertentangan
pada unsur lainnya. Ajaran prioritas baku dari Gustav Radbruch dapat dikatakan
jauh lebih maju dan arif dibandingkan dengan ajaran ekstrim, yaitu tentang
ajaran etis dan utilistis dan digmatik legalistik. Namun ternyata seiring
dengan perkembangan kejahatan yang semakin kompleks, pilihan-pilihan prioritas
yang sudah dibakukan mendapat pertentangan-pertentangan antara kebutuhan hukum
dan kasus-kasus tertentu. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan keadilan
bukan pada kemanfataan dan kepastian hukum, tetapi dalam kasus-kasus lain
berbeda lagi, yang lebih dibutuhkan adalah kemanfaatan atau kepastian hukumnya
lebih diprioritaskan ketimbang keadilan.
Berbicara
keadilan memang bukanlah sebuah hal yang mudah, karena ketika seorang Hakim
memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinan akan rasa keadilan yang dimilikinya,
maka tentu saja akan ada pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan dari
putusan tersebut. Dalam kondisi ini, peranan unsur kemanfaatan dan kepastian
hukum harus dapat menutupi dengan bijak perasaan ketidakadilan yang dirasakan
pihak tersebut. Dalam sebuah pemeriksaan
pidana, harapan semua pihak digantungkan pada fakta yang terungkap selama persidangan,
aturan yang berlaku, keadaan selama proses persidangan dan putusan hakim, yang
pada akhirnya menunjuk kepada tersangka, Bersalah atau Tidak !. Pada dasarnya
harus diakui, seseorang yang dinyatakan bersalah tetap tidak akan merelakan
dirinya untuk dihukum dan masuk penjara. Dengan demikian, keberadaan
Hakim dalam memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang memang bukanlah sebuah
perkara mudah, kecermatan, ketelitian, serta hati nurani dibutuhkan seorang
Hakim dalam membuat sebuah keputusan.
B. Putusan
Hakim Kasus Nazaruddin
Melalui
panjangnya proses pengadilan tindak pidana korupsi, akhirnya Hakim Pengadilan Tipikor
yang dipimpin oleh Dharmawati Ningsih pada hari Jumat tanggal 20 April 2012, memberikan
vonis 4 tahun 10 bulan serta denda Rp 200 juta kepada terdakwa M. Nazaruddin. Keputusan
tersebut jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa. Selain itu pula,
majelis hakim juga tidak menyita harta kekayaan Nazaruddin sebagaimana layaknya
putusan kasus pidana korupsi lainnya. Sebagai perbandingan, Hakim pada kasus
korupsi dengan terdakwa Gayus Tambunan, memberikan vonis 7 tahun penjara dan
denda Rp 300 juta. Lalu apakah kita layak menyatakan bahwa putusan hakim pada
kasus korupsi dengan terdakwa M. Nazaruddin
tersebut jauh dari rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum ?
Dalam
persidangan, Nazaruddin terbukti melanggar Pasal (11) Undang-Undang (UU) Nomor
31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim menganggap Nazaruddin, selaku penyelenggara
negara, terbukti menerima suap dari Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI)
Mohammad El Idris sebesar Rp 4,6 miliar. Hakim anggota Herdin Agusten membeberkan,
pemberian cek dari El Idris kepada terdakwa dilakukan melalui anak buah Nazaruddin,Yulianis
dan Oktarina Furi, selaku staf keuangan PT Permai Group. Pemberian itu merupakan
komitmen fee dari DGI ke PT Anak Negeri, anak perusahaan milik terdakwa.
Majelis melanjutkan, dengan tindakan korupsi tersebut, Nazaruddin telah
melakukan perilaku kejahatan luar biasa yang secara sistemik merugikan kepentingan
negara. Dalam menanggapi keputusan ‘ringan’ dari majelis hakim ini, penulis
mencoba mengingatkan kita semua beberapa hal diluar fakta persidangan yang
sesungguhnya dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan beratnya hukuman Nazaruddin.
Pertama,
status M. Nazaruddin sebagai anggota DPR komisi III, dimana selayaknya seorang
anggota DPR memberikan contoh perilaku pejabat negara yang taat hukum. Apa yang
kita lihat adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak layak dicontoh, dan
terbukti dari tindakan tersebut bahwa majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa
secara sah dan meyakinkan telah bersalah. Kedua, tindakan terdakwa
yang melarikan diri hingga keluar negeri adalah wujud tindakan tidak kooperatif
dalam menghadapi kasus hukum yang menimpanya. Disamping itu, kiranya perlu
dipertimbangkan berapa besar biaya negara yang digunakan untuk memulangkan
Nazaruddin dari Kolombia. Perlu kita ingat bahwa, negara melalui KPK harus merogoh
kocek hingga 4 milyar rupiah untuk memulangkan Nazaruddin kala itu. Ketiga,
energi negara yang terkuras selama proses penyidikan dan persidangan terdakwa M.
Nazaruddin. Secara langsung, hal ini tidaklah berkaitan dengan unsure kejahatan
terdakwa, akan tetapi hal tersebut hendaknya menjadi bagian dari pertimbangan hakim
dalam memberikan keputusan terkait kasus tersebut. Selama berhari-hari dan
berbulan-bulan, negara dan masyarakat dihujani berita mengenai berbagai ulah
yang dilakukan Nazaruddin. Mulai dari ucapannya didepan media, perilakunya, hingga
berbagai permainan psikologi yang dimunculkan baik oleh terdakwa maupun tim pembela
hukumnya telah memberikan dampak yang tidak ringan.
Tentu saja
terlepas dari positif atau negatif dampak tersebut, pada kenyataanya masyarakat
telah ikut larut dalam dongeng korupsi yang merusak citra DPR sebagai bagaian
dari pejabat negara. Ketiga hal tersebut belum ditambah dengan berbagai cerita
ataupun dugaan terhadap kasus-kasus korupsi besar lainnya yang turut melibatkan
nama-nama terkenal di negara ini. Sebut saja salah satu nya adalah dugaan
korupsi Hambalang dan lainnya.
C. Keadilan,
Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum
Lantas apakah
serta merta kita bisa membuktikan apakah putusan majelis hakim yang menjatuhkan
vonis 4 tahun 10 bulan penjara serta denda sebesar Rp 200 juta kepada
Nazaruddin sebagai wujud ketidak adilan, bentuk ketidak manfaatan, ataupun
bagian dari ketidak pastian hukum di Indonesia ? Seorang hakim dalam
menjatuhkan putusan tidak hanya mempedomani pasal 183 KUHAP semata mengenai
dibutuhkannya minimal dua alat bukti, akan tetapi juga diperlukan pertimbangan
dari keyakinan hakim yang turut berdasarkan kepada nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”
Oleh karena itu
dalam memberikan putusan, hakim harus berdasar pada penafsiran hukum yang
sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Tentu
saja hal tersebut sangat berkaitan erat dengan situasi dan perkembangan sosial
yang menyertai kasus tersebut. Jika dicermati, sesungguhnya hal ini sejalan
dengan studi mengenai kejahatan itu sendiri dimana setidaknya ada 4 unsur yang
harus diperhatikan dalam menilai sebuah kejahatan, yaitu: (1) Kejahatan; (2) Pelaku;
(3) Korban; dan (4) Reaksi sosial.2 Untuk itu, tentu bukanlah sebuah hal yang
tepat jika kita membandingkan putusan antara sebuah kasus kejahatan dengan
kejahatan yang lain sekalipun kejahatan tersebut memiliki jenis yang sama. Hal
ini dikarenakan, situasi yang menyertai setiap kasus tentu akan sangat berbeda.
Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang
atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa
berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya
berdasarkan prinsip keseimbangan.
Pada vonis
majelis hakim persidangan M. Nazaruddin, hakim seolah tidak mempertimbangkan
beberapa faktor yang seharusnya dapat memberatkan terdakwa seperti yang telah
penulis kemukakan diatas. Fakta bahwa terdakwa adalah seorang pejabat Negara (DPR)
yang menerima gaji/pendapatan yang berasal dari APBN serta tindakan terdakwa
yang tidak kooperatif pada kenyataannya tidak terlihat memberatkan terdakwa
dalam putusan 4 tahun 10 bulan tersebut.
Kepastian hukum
menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen,
yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Pada kasus persidangan Nazaruddin, majelis hakim menyatakan bahwa pasal yang
tepat untuk dikenakan pada Nazaruddin adalah pasal 11 UU No 31 Tahun 1999
dimana ancaman hukuman maksimal adalah 5 (lima) tahun penjara, sedangkan
tuntutan jaksa penuntut umum saat itu adalah pasal 12 huruf b dengan hukuman maksimal
20 (dua puluh) tahun penjara. Perbedaan interpretasi hakim dan jaksa ini bisa jadi
dikarenakan adanya fakta persidangan yang menjadi pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkenaan pasal. Namun jangan dilupakan bahwa hukum bukan sekedar
hukum materiil yang tercantum dalam undang-undang semata, reaksi sosial
masyarakat juga merupakan kontrak sosial yang tidak tertulis dalam kehidupan
sosial.
Sedangkan dari
sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam tata sinergis
antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat)
kepada terciptanya rasa terlindungi dan keteraturan dalam kehidupan bersama
dalam masyarakat. Situasi sosial yang mengikuti jalannya proses persidangan M.
Nazaruddin memunculkan berbagai polemik yang bisa merubah mindset masyarakat
secara sistemik. Pola pikir bahwa bencana korupsi yang menimpa negeri ini turut
didukung dengan buruknya penegakan hukum khususnya dalam tahapan putusan
pengadilan. Secara keseluruhan, sulit rasanya untuk kita mengatakan bahwa
putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang memberikan hukuman 4 tahun 10
bulan kepada terdakwa M. Nazaruddin telah memenuhi tujuan hukum dalam
memberikan keadilan, kemanfaatan, serta kepastian. Terlepas dari ada ataupun
tidak ‘political will’ yang bermain, banyak dari masyarakat yang menyatakan
ketidak puasan terhadap keputusan tersebut. Hal ini terlebih lagi ditambah
dengan carut marutnya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia yang berjalan
secara linier mengikuti derasnya ancaman kejahatan korupsi di negara ini.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan
konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
yang sifatnya subjektif. Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya
membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga
dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) kepada terciptanya rasa
terlindungi dan keteraturan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam
kasus di atas dapat disimpulkan bahwa vonis yang diberikan hakim kepada
Terdakwa M. Nazaruddin tidak sesuai dengan rasa keadilan karena tidak memenuhi tujuan
hukum dalam memberikan keadilan, kemanfaatan, serta kepastian. Hal ini ditambah
dengan parahnya pelaksanaan hukum di Indonesia yang sudah dicemari dengan
kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lainnya. Masyarakat dapat
melihat hal ini melalui proses yang telah berjalan. Sehingga menyimpulkan
keparahan pelaksanaan hukum di negeri kita
B.
Saran-Saran
Dalam
pelaksanaan hukum di Negara kita ini, sebaiknya melihat bagaimana tujuan hukum
itu dibuat dalam memberikan keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum, sehingga
masyarakat juga kembali percaya bahwa penegakan hukum di Negara kita telah
memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tadi.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianus
Meliala, Kriminologi dan Viktimologi, 2009
Anthon
Susanto, Wajah Peradilan Kita, Rafika Aditama, 2004.
0 Komentar