Teori Al Farabi tentang Emanasi

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Pilar-pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India. Kebudayaan Yunani telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik.
Filsafat sebagai khazanah Islam telah membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.
Dalam tulisan ini, salah satu bagian penting dari sejumlah pemikiran filsafat Islam akan sedikit penulis bahas, yaitu mengenai Pemikiran Metafisis dan Filosofis Al Faraby tentang Realitas Wujud secara Emanasi.
Al Faraby adalah sebagai penerus tradisi intelektual Al Kindi dengan segala kompetensi dan kreativitas berpikirnya serta tingkat sofistikasi yang tinggi dia mencoba memperkenalkan teorinya yang sangat kontroversi dikalangan filosof saat itu yaitu mengenai Bagaimana Pemikiran Metafisis dan Realitas Wujud secara Emanasi?

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup Al Farabi ?
2.      Bagaimana hubungan Al Farabi dengan Rekonsiliasi Filsafat ?
3.      Bagaimana Teory Emanasi (Al Faidl) Al Faraby ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sekilas Riwayat Hidup
Al Farabi Nama lengkapnya adalah Abunasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh yang biasa di singkat Al-Farabi (870 – 950 M). Beliau adalah seorang, Muslim keturunan Parsi, yang dilahirkan di Wasij, Distrik Farab (Turkestan). Sebutkan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, di mana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya bernama Muhammad Ibn Auzalgh adalah seorang Jendral Panglima Perang Parsi. Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi Perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah bahasa-bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan.
Kendatipun Al Farabi adalah seorang tokoh terkemuka dikalangan para filosof Muslim, namun informasi tentang dirinya sangatlah terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya begitu juga para muridnya.
Menurut beberapa Literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun meninggalkan negerinya untuk menuju ke Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius seorang kristen, beliau belajar tentang ilmu logika dan filsafat serta belajar Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al Saraj. Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.
Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Baghdad ia berdiam selama 30 tahun.
Selama di Baghdad ia memakai waktu­nya untuk mengarang, berdiskusi, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku fil­safat. Muridnya yang terkenal pada masa ini adalah Yahya Ibnu Ady, filosof Kristen.
Pada tahun 330 H (941 M), ia pindah ke Damsyik/Damaskus, dan di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifudaulah, Khalifah Dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
Sebagaimana filosof Yunani beliau menguasai berbagai disiplin ilmu. Hal tersebut sangat memungkinkan karena dukungan ketekunan, kerajinan dan kerdasan beliau. Di pihak lain pada masa itu belum ada pemilahan antara buku-buku sains dan filsafat. Maka ketika membaca satu buku akan bersentuhan langsung dengan kedua ilmu tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan atas karya-karya tulisnya, beliau adalah menguasai disiplin Ilmu Matematika, Kimia, Astronomi, Musik, Ilmu Alam, Logika, Filsafat, Bahasa dan lain-lain.
Sebagian besar karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang­-bidang logika, fisik dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Al Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles yang dijuluki Al Mu’allim Al Awwal (guru Pertama), sehingga dengan demikian tidak mengherankan bila Ibnu Sina yang menyandang predikat Al Syeich Al Rais (Kyai Utama) pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles dari empat kali, tetap belum juga mengerti maksudnya. Namun setelah ia mambaca karangan Al-Farabi mendapatkan kunci dalam memahami filsafatnya Aristoteles dari bukunya Al Farabi yang berjudul “Fi Aghradhi Ma’ba’d Al Thabi’at” (Intisari Buku Metafisika).
Sementara beliau dalam dunia intelektual Islam mendapatkan kehormatan dengan julukan Al Mu’allim Al Tsany (guru kedua). Penilaian ini didasarkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles.
Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan tajam dari para komentator karya Aristoteles. Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, yang terbanyak ialah mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul-Ulum (Ecyclopaedia of Science) beliau memberikan suatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat sebagai De kientfis dari terjemahan Latin oleh Gerard Cremona.

B.       Al Farabi dan Rekonsiliasi Filsafat
Masalah kefilsafatan sebenarnya telah dibahas dan dicari pemecahannya sejak manusia mampu menggunakan akal pikirannya. Antara persoalan-persoalan, filsafat yaitu masalah ketuhanan yang termasuk dalam pembahasan metafisika.
Kemudian pemikiran tentang ketuhanan yang dilanjutkan oleh para pemikir berikutnya dari masing-masing filosof atau tiap-tiap aliran merumuskan konsepsi ketuhanan yang sesuai dengan keyakinannya, di antara pemikiran itu ada yang saling bertentangan atau berbeda pendapat, tetapi ada pula yang saling melengkapi.
Setelah sampai pada periode filsafat Islam, dalam hal ini Al-Farabi juga mengemukakan konsepsi ketuhanan, tetapi yang didasarkan pada ajaran agama Islam, yang kemudian dibahas menuju pemikiran filsafat.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat, Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dari corak aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plato dan dalam metafisika ia mengikuti Plotinus. Selain itu al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang percaya akan kesatuan (ketunggalan) filsafat.
Usaha pemaduan sebenarnya sudah lama dimulai sebelum munculnya Al Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan filsafat, terutama sejak adanya aliran neo-Platonisme. Namun usaha AI-Farabi lebih lagi, karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam tetapi ia juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu meskipun berbeda-beda corak dan macamnya. Pendirianya ini nampak jelas pada karangan-karanganya, terutama dalam bukunya yang berjudul: Al Jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain (Penggabungan F-ikiran Kedua Filosof, Plato dan Aristoteles).

C.      Teory Emanasi (Al Faidl) Al Faraby
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud.
Teori ini sebenamya terdapat pula dalam paham Neo-Platon. Perbedaan antara keduanya yaitu terletak uraian Al-Farabi yang ilmiah. Menurut teori emanasi Al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada Nya juga satu wujud saja, emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya satu. Kalau apa yang keluar itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; al­al-a’la) dengan jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit dan jiwanya
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.
Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.
Jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh, hal ini sesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap ­akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Stuktur Emanasi Al Faraby saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.
Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu sendiri.

BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Dari beberapa uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
  1. Hakekat wujud menurut Al Faraby adalah terbagi menjadi dua bagian yaitu: Pertama Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Dan Kedua Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
  2. Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud

B.       Saran-Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Athif, Muhammad Al Iraqy. 1978. Al Fal safat Al Islamiyyat, Kairo, Dar Al Ma’arif.
Besthti, Muhammad Husaini. 2003. God In The Qur an: A Metaphysical Study. Terj. Ilyas. Hasan. Bandung. PT. Arasy.
Gazalba Sidi, Drs. 1977. Sistematika Filsafat. Jakarta, PT. Bulan Bintang
Hanafi A. MA. 1981. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. PT Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1973. Teologi Islam. Jakarta. UI
Rayyan, Muhammad Ali Abu. Al Falsafat Al Islamiyyah Syakhshiyatuhu Mazahibuha tt: MK. Iskandariyat tt.
Sudarsono, Drs, SH, M.Si. Filsafat Islam. Jakarta. PT. Rineka Cipta
Zar Sirajuddin, Prof, Dr, M.A, H. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada

Previous
Next Post »
0 Komentar